Sabtu, 08 Desember 2012

Budaya Hemat Air



 
Ujang (4 thn), adalah seorang bocah yang tinggal di Desa Tapos I Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Tapos merupakan desa yang terletak di lereng bukit Gunung Salak, gunung yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi beberapa waktu silam. Jarak dari ibukota kabupaten Bogor, sekurang-kurangnya 30 kilometer dengan jarak tempuh sepeda motor sekitar satu jam perjalanan. Layaknya daerah pegunungan lain, kontur tanah di desa Tapos tidak datar sehingga antara satu pemukiman dengan pemukiman lain sering dipisahkan lembah perbukitan. Ujang, yang belum memasuki sekolah, tinggal bersama kedua orang tuanya. Layaknya anak desa, sehari-hari ia habiskan waktunya untuk bermain. Namun, satu hal yang menginspirasi adalah kebiasannya dalam membantu orang tua. Setiap hari, bocah yang tinggi tubuhnya  belum sampai 1 meter ini, terbiasa mengambil air bersih dengan menggunakan baskom plastik. Air diambil dari bak penampungan di lingkungan RT yang dihuni tidak kurang 30 KK itu. Bak penampungan itu sendiri merupakan bangunan yang baru dibangun bulan Oktober 2012 lalu atas bantuan program PNPM Mandiri Perdesaan. Melalui bangunan yang menghabiskan dana sekitar Rp. 33 juta itulah, warga yang sebelumnya bertahun-tahun mengalami kesulitan air bersih, akhirnya terbebas dari kesulitan akses air bersih.
Namun membuat instalasi penyaluran air ke rumah bukanlah perkara mudah. Bak penampungan yang berlokasi di bawah bukit, sedang rumah warga diatasnya, membuat tekanan air sulit naik ke atas. Disisi lain, dusun yang dihuni mayoritas RTM (Rumah Tangga Miskin) berkesulitan jika harus swadaya uang. Alhasil, cara pengambilan air pun diserahkan ke masing-masing warga yaitu dengan cara  manual. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ujang  bocah kecil ini, setiap harinya ia harus naik turun bukit untuk mengambil air dari bak penampungan ke rumahnya. Tak jarang, air yang diwadahi baskom pun tertumpah dan tersisa sedikit sesampainya di rumah. Tapi tekadnya tak surut, tubuh kecilnya tak membuat semangatnya mengecil. Ia tetap bersabar bolak-balik dari rumah ke bak penampungan air meskipun jika dihitung bisa puluhan kali hanya untuk memenuhi gentong air di rumahnya.
Bagi sebagian orang, mungkin air bersih bukan masalah. Sesukanya jika ingin mengambil atau memanfaatkannya. Ambil contoh di hotel, sudah rahasia umum kampanye air bersih sulit dipraktekan di tempat yang demikian dengan alasan bahwa para penghuninya sudah membayar mahal untuk menikmati fasilitas termasuk air. So, gak perlu hemat karena dianggap merugi. Tapi, anggapan seperti inilah yang pada akhirnya membuat air lama kelamaan menghilang dari muka bumi karena terjadinya eksplorasi dan ekploitasi besar-besaran melalui sumur dan mesin pompa.
Kembali ke cerita ujang, kita melihat bagaimanakah perjuangan seorang anak (mewakili keluarganya), untuk mendapatkan air bersih yang ternyata tak mudah. Ia harus rela naik turun bukit dengan wadah dan hasil seadanya. Cerita demikian menunjukan manusia harus bersahabat dengan air, salah satunya dengan menghemat sebisa mungkin dan ini menjadi pelajaran bagi siapapun manusia Indonesia yang tidak ingin dilanda krisis air, maka harus bersahabat dengan air…Berhematlah sejak sekarang..!!